bersatulah pelacur - pelacur purwakata, meminjam kata - kata Rendra. rasanya tepat dalam hal ini yang menggambarkan keadaan kami saat ini. rasanya kami jadi pengungsi di kota kami (Purwakarta). seolah kami yang bersalah dengan keyakinan kami dan akan diberi pengajaran baru oleh mereka pemimpin baru kami yang sesungguhnya adalah pengungsi di tempat ini. baiklah, ini bukan soal dada, paha dan airmata. ini soal keyakinan yang sudah kami jaga selama berabad - abad tapi dengan seenak udel kalian ingin merubahnya dalam hitungan cahaya. bangsat. rasanya kami ingin mengacungkan kutang - kutang kami di atas patung yang tuan buat. kami tidak permasalahkan soal patung, karena kami yakin tuan tidak akan menyembahnya dan menyuruh kami. tapi sekali lagi, keyakinan kami seolah ditelanjangi oleh kalian. sebenarnya apa maksud tuan?
kami senang tuan menggairahkan pinggul kesenian tradisional kami, tapi pinggul - pinggul penari ini sama sekali tak kami kenal baunya, atau mungkin habis dihisap tengkuk mereka oleh tuanku. nyatanya, seniman tua yang kami kenal tetap miskin dan melarat, mungkin tuan tak bergairah dengan mereka.
dalam hal moralitas tuan sangat cerdas. tuan angkat budaya tradisional ke dalam derajat yang sangat tinggi. begitu senang kami. tetapi selalu kami tidakl mengerti apa yang kalian kerjakan setiap akhir pentas, tuan memang sangat hobi mengurusi sebuah band musik. intinya, satu sisi tuan ingin mengangkat warisan tradisi, di sisi lain tuan ingin membunuh pemikiran tradisional, mana bisa, dasar tolol.
maaf bila sedikit emosional, tapi kami bertahan dengan perut yang penuh dan jiwa yang tenang, bila gelisah rasanya ingin memperkosa istri - istri tuan yang cantik. sungguh, suatu siang di seberang istana tuan, bocah yang sudah tidak mandi lebih dari setahun memungut nasi sisa entah siapa, tidak jauh dari patung badak. sedang tuan sedang asik benyanyi dan berjoget di dalam istana, tentunya dengan istri tuan yang cantik.