Tuesday, May 25, 2010
Puisi untuk Bangsaku
bangsaku sulit diatur
tapi dia bukan bangkai
bukan pula sekumpulan keledai
dia hanya tidur sejenak
untuk bangun cinta beranjak
Format Baru Sejarah Sastra Indonesia
BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra
Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun
1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda,
sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah
sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan
sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968).
Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi
1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967
dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya
sastra yang penting.
Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna
perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya
tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan
sastra.
Format baru
Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan
periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat
format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai
tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu
proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30
September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan
puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah
struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur,
1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan
perubahan-perubahan tersebut.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka
diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa
pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965,
masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai
pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan
tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa
perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai
berikut:
Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk
mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa
pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah
karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara
Hadi dan lain-lain.
Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah
bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal
khazanah sastra Indonesia.
Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra
Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan
berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang
dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu
maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya
menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan
atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan
atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan
dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka
tahun 1998-sekarang.
Format Baru Sejarah Sastra Indonesia Originally published in Shvoong: http://id.shvoong.com/social-sciences/1682996-format-baru-sejarah-sastra-indonesia/
Sastra : Menggagas Pembentukan Karakter Generasi Muda melalui Karya Sastra
Sudah lama anak-anak merindukan dongeng kita. Bukan dongeng menjelang tidur saja, tetapi dongeng yang membawa karakter generasi mendatang kita. Begitu pun cerita-cerita semesta, atau karya sastra, baik lewat teater maupun seni pertujukan lainnya. Juga seni yang mengutuhkan hidup generasi berkepribadian yang matang. Generasi yang mempunyai jati diri dan tidak mudah diejek oleh bangsa lain.
Berikut beberapa pandangan Pak Achjar Chalil yang saya kutip dari FB untuk kita renungkan :
Hingga hari ini, sastra klasik Angkatan Balai Pustaka, karya sastrawan Indonesia jadi bacaan wajib siswa SMA di Malaysia. Dengan ini mereka memelihara “karakter positip Melayu” nya. Ketika Malaysia berulah, bangsa ini pun hanya bisa mencak-…mencak, dan “teriak sana teriak sini”. Wahai para pemimpin..jangan keasikan memburu uang dan kekuasaan…tolong perbaiki karakter bangsa ini….Salam… (Achjar Chalil)
Otomotive? belajar dari asing=perlu!, Elektronik? belajar dari asing=perlu!, Teknologi Informasi? belajar dari asing=perlu. Pokoknya untuk sains dan teknologi silahkan arahkan “kiblat” anda ke luar Indonesia…. Untuk pembangunan karakter b…angsa….? Nah ini dia. Sebagai bangsa yang pernah dijajah barat (belanda) bangsa ini (termasuk para pemimpinnya) tetap juga melihat ke barat.. (Achjar Chalil)
Para pakar pendidikan kita pergi ke barat, pulang bawa gelar DR, PHd, pendidikan di kita pun dirancang ikuti pola Jerman, Inggris, Amerika, atau Australia. Konsep pendidikan yang dirancang oleh Ki Hajar Dewantara dan Engku M. Syafe’i (100% pribu…mi) diletakkan “di bawah meja” (untuk konsep Ki Hajar cukup sekedar kata Tut Wuri Handayani pada logo Depdiknas…
(Achjar Chalil)
Berikut beberapa wawasan terkait dengan kegiatan berkesenian di Kabupaten Purworejo :
Ada banyak grup, sanggar, atau organisasi yang malang melintang di dunia seni di Purworejo. Sedikit yang dikenal eksistensinya oleh masyarakat Purworejo sendiri. Sebagian besar tidak tertampung atau tidak memiliki tempat untuk mengungkapkan ekspresi seninya.
Perlu kiranya sekali waktu di Purworejo diadakan kegiatan pembinaan bidang kesenian secara serius guna menghadapi tantangan globalisasi yang lebih santer mengalir ke dinding kota dan pedesaan-pedesaan di Purworejo.
Sebagai contoh perkembangan dunia sastra di kalangan remaja baru merambah sebagian kecil generasi muda, karena minimnya pembinaan. Di sekolah-sekolah pembelajaran seni sastra tidak konsen lagi lantaran tuntutan kurikulum yang masih sulit diterapkan. Sementara secara nasional pembelajaran sesni sastra belum “terupdate” dan baru terintegrasi melalui Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Kerinduan generasi muda akan karya sastra, memang tidak mengglobal, akan tetapi justeru hal inilah kelemahan dunia sastra kita. Ia semakin dijauhi saja. Padahal karya sastra dapat membentuk karakter generasi bangsa kita.
Adalah besar harapan pembentukan karakter generasi bangsa, karakter masyarakat khususnya di Purworejo dapat terjembatani melalui Dewan Kesenian Purworejo, sehingga dapatlah terkondisikan pementasan karya seni semisal karya sastra dan ekspresi seni yang lain, seperti seni teater, seni pedalangan, seni tari, seni karawitan. sampai seni-seni tradisional yang khas di Purworejo dapat tetap eksis dan terbina.